TEMPOCO, Denpasar - Bali Internasional Film Festival 2018 akan menayangkan lebih dari 100 film pendek, feature film, dan film dokumenter dari 30 negara dan memberi fokus kepada sejarah industri perfilman Indonesia.. Baca: Balinale Film Festival Kedelapan Angkat Tema Perempuan Festival Founder Bali International Film Festival Deborah Gabinetti mengatakan gelaran yang lebih dikenal dengan
YOGYAKARTA - Perhelatan Festival Film Dokumenter FFD 2018 resmi berakhir. Berlangsung pada 5-12 Desember 2018, FFD diselenggarakan dengan serangkaian agenda pemutaran film, diskusi, lokakarya kritik, pameran, dan eksibisi sendiri dihelat di Taman Budaya Yogyakarta dan IFI-LIP Yogyakarta. Malam pengenugerahan menjadi penutup gelaran FFD, yang digelar di Societet Militair Taman Budaya Program FFD 2018, Sazkia Noor Anggraini mengatakan, beragam acara dihadirkan selama delapan hari perhelatan. Selain itu, sbanyak 94 film telah diputar dalam 19 program."Sejak 2002 hingga saat ini, FFD berusaha untuk tetap konsisten menerima film-film kompetisi," kata Sazkia. Direktur IFI-LIP Yogyakarta, Sarah Camara menuturkan, selama 16 tahun ini gelaran FFD di IFI-LIP tidak berhenti menawarkan program bermutu. Semua itu diperuntukkan kepada khalayak umum dengan cara yang tematik dan beragam."Sehingga, memberikan kesempatan yang lebih luas dalam penciptaan dokumentasi," ujar kesempatan ini, Asia Doc turut memberikan penghargaan Akatara Award yang disampaikan Forum Flm Dokumenter. Asia Doc merupakan media pengembangan naskah dokumenter bagi pembuat film 12 judul, penghargaan Akatara Award diberikan kepada naskah film The Ant vs The Elephant karya Linda Nursanti. Acara inti malam pengenugerahan ini tentunya pengumuman pemenang dari tiga kategori Kehidupan karya Naira Capah dan Fauzan Syam Adiya terpilih jadi pemenang kategori pelajar, In the Claws of Century Wanting karya Jewel Maranan menjadi pemenang kategori film panjang tahun ini tidak ada pemenang untuk kategori dokumenter pendek lantaran juri tidak menemukan kecukupan eksplorasi bahasa sinema dari lima nominasi. Tapi, The Nameless Boy karya Diego Batara mendapat special mention jury Forum Film Dokumenter, Henricus Pria Setiawan berpendapat, kompetisi film ini merupakan ajang pembuat film membagikan perspektif. Serta, pandangan kritis terhadap isu-isu sekitar."Tahun ini FFD menerima 118 film kategori panjang internasional, 100 film kategori pendek, dan 23 film kategori pelajar," kata FFD 2018, Ukky Satya Nugrahani menambahkan, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari perhelatan FFD tersebut. Pertama, keberadaan festival sebagai ruang dialog tidak akan terjadi tanpa antusiasme banyak lanjut Ukky, akan terus dilakukan evaluasi baik secara penyelenggaraan maupun organisasional. Karenanya, diharapkan gelaran ini senantiasa dapat diselenggarakan setiap tahun."Dan setiap program yang diadakan tahun ini maupun selanjutnya FFD akan lebih spesifik menarget penonton agar lebih tepat sasaran," ujar Ukky.
Acaraselanjutnya yaitu Screening nominasi karya Festival Dokumenter Budi Luhur, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17-18 Desember 2018 di Student Lounge, Universitas Budi Luhur,Pukul 10.00-Selesai, serta mendatangkan film tamu dari East Cinema dengan judul From the edge of sanity yang berasal dari Irak dan DYAB yang berasal Khurdistan Asia Timur.
Tahun ini, Program Kompetisi Festival Film Dokumenter kembali menyajikan film-film unggulan, hasil seleksi dari berbagai negara untuk kategori film Dokumenter Panjang, dan tentu saja keragamaan dari berbagai film dokumenter Indonesia dalam kategori Dokumenter Pendek dan Dokumenter Pelajar. Setiap tahun, film – film yang masuk ke Program Kompetisi kian beragam, baik secara konten maupun bentuk – bentuk yang digunakan dalam karya para peserta. Selain itu, tema – tema yang diangkat sangat bervariasi, mulai dari hal-hal yang sederhana dan dekat dengan keseharian, hingga berbagai permasalahan sosial politik yang aktual. Kami menerima 43 Film Kategori Dokumenter Panjang Internasional, 85 Film Kategori Dokumenter Pendek, dan 24 Film Kategori Dokumenter Pelajar. FFD selalu mencari film-film yang bisa secara kritis menanggapi hal-hal sederhana yang ada di sekitar kita, yang diharapkan bisa menjadi bahan refleksi untuk peonton serta menjadi pintu masuk untuk membicarakan isu yang lebih besar. Selain itu dibutuhkan juga kecakapan filmmaker untuk mengemas isu-isu tersebut kedalam bentuk penceritaan, sehingga bisa juga dinikmati penonton sebagai sebuah bentuk karya seni. Pengemasan yang kreatif ini juga menjadi pertimbangan dalam memilih film-film finalis dibawah ini. Sandeep Ray Sebelum mengajar di SUTD-HASS, Sandeep pernah mengajar di University of Wisconsin 2015-2016, dan seorang Luce Postdoctoral Fellow di Rice University 2016-2017. Filmnya sudah pernah diulas di The American Anthropologist and the Journal for Visual Anthropology dan pernah diputar di beberapa festival, seperti di Busan BIFF, Taiwan TIDF, Sydney, Paris Jean Rouch, Tehran IIFF, Copenhagen DOX, dan masuk dalam kurasi the Flaherty Seminar, the Margaret Mead Festival, the Films Division of India, the Asia Research Institute NUS, dan the Whitney and Getty Museums. Anna Har Anna Har adalah direktur FreedomFilmFest, sebuah festival film HAM internasional di Malaysia. Ia adalah ketua Freedom Film Network, sebuah organisasi yang mempromosikan dan mendukung pembuatan film-film bertema sosial. Anna belajar visual antropologi dan telah bekerja di bidang HAM selama 20 tahun. Ia masih terus berkarya sebagai sutradara dan produser di Big Pics Production miliknya. Ronny Agustinus Ronny Agustinus adalah salah satu pendiri Ruang Rupa. Sejak 2005 hingga sekarang, ia mengelola penerbit Marjin Kiri. Ia pernah menjadi kurator sesi Amerika Latin untuk ARKIPEL Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival 2014-2016, juri ARKIPEL 2014-2015, juri dokumenter panjang Festival Film Dokumenter 2015 Yogyakarta, dan juri Psychology Film Festival 2016 Surabaya. Thomas Barker Thomas Barker adalah Asisten Professor Film dan Televisi di University of Nottingham Kampus Malaysia. Ia pernah menjadi mahasiswa tamu di UCLA, UI, dan The National University of Singapore serta pernah menjadi mahasiswa di UGM, Yogyakarta. Selain itu, ia juga pernah menulis di beberapa media, antara lain untuk Cinema Poetica, The Jakarta Post, Rumah Film, dan Asian Cinema. Akhir-akhir ini ia turut menjadi co-producer dan menarasikan dokumenter delapan bagian yang dibuat untuk BFM Radio Kuala Lumpur, Malaysia. Vivian Idris Pembuat film otodidak yang misinya adalah menggunakan medium audio-visual sebagai alat untuk edukasi, pelestarian budaya, mengakselerasi pergerakan sosial, dan sebagai salah satu cara berkontribusi kembali ke masyarakat. Vivian juga aktif berpartisipasi di festival-festival lokal di Indonesia sebagai juri Festival Film Indonesia, Anti Corruption Film Festival, XXI Short Film Festival, Festival Film Surabaya, Festival Film Dokumenter, Eagle Academy, UCIFEST 7, Festival Video Edukasi dan membuat workshop pembuatan film dokumenter. Antariksa Antariksa adalah peneliti dan anggota pendiri KUNCI Cultural Studies Center, Yogyakarta. Dia kini menjadi peneliti tamu pada Global Souths du Collège d’études mondiales/Fondation Maison des sciences de l’homme FMSH, Paris, dan Associate Fellow pada the Institute of Southeast Asian Studies ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura. Steve Pilar Setiabudi Pillar lahir di Solo, Indonesia. Ia lulus dari jurusan desain grafis di Yogyakarta tahun 1997. Sejak saat itu, ia aktif berkegiatan dalam beberapa produksi film dokumenter. Saat ini ia tengah bekerja di Artifact Media, di mana ia aktif memproduseri dan menyutradarai film-film dokumenter. Jason Iskandar Jason Iskandar lahir di Jakarta pada tahun 1991. Ia mulai membuat film pada usia 17 tahun di workshop dan kompetisi film dokumenter Think Act Change, di mana filmnya yang berjudul Sarung Petarung memenangkan tiga penghargaan. Film dokumenternya yang berjudul Indonesia Bukan Negara Islam memenangkan penghargaan film terbaik kategori pelajar pada Festival Film Dokumenter 2009. Saat ini ia sedang mempersiapkan film panjang pertamanya. Irfan R. Darajat Lahir di Purbalingga, 22 Oktober 1988. Ia menamatkan pendidikan S1 Jurusan Politik dan Pemerintahan tahun 2012 dan melanjutkan studi S2 Kajian Budaya dan Media di UGM pada tahun 2013 hingga sekarang. Salah satu anggota kelompok peneliti musik dan masyarakat “Laras”. Juri Kategori PanjangJuri Kategori PendekJuri Kategori Pelajar Juri Kategori Panjang Sandeep Ray Sebelum mengajar di SUTD-HASS, Sandeep pernah mengajar di University of Wisconsin 2015-2016, dan seorang Luce Postdoctoral Fellow di Rice University 2016-2017. Filmnya sudah pernah diulas di The American Anthropologist and the Journal for Visual Anthropology dan pernah diputar di beberapa festival, seperti di Busan BIFF, Taiwan TIDF, Sydney, Paris Jean Rouch, Tehran IIFF, Copenhagen DOX, dan masuk dalam kurasi the Flaherty Seminar, the Margaret Mead Festival, the Films Division of India, the Asia Research Institute NUS, dan the Whitney and Getty Museums. Anna Har Anna Har adalah direktur FreedomFilmFest, sebuah festival film HAM internasional di Malaysia. Ia adalah ketua Freedom Film Network, sebuah organisasi yang mempromosikan dan mendukung pembuatan film-film bertema sosial. Anna belajar visual antropologi dan telah bekerja di bidang HAM selama 20 tahun. Ia masih terus berkarya sebagai sutradara dan produser di Big Pics Production miliknya. Ronny Agustinus Ronny Agustinus adalah salah satu pendiri Ruang Rupa. Sejak 2005 hingga sekarang, ia mengelola penerbit Marjin Kiri. Ia pernah menjadi kurator sesi Amerika Latin untuk ARKIPEL Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival 2014-2016, juri ARKIPEL 2014-2015, juri dokumenter panjang Festival Film Dokumenter 2015 Yogyakarta, dan juri Psychology Film Festival 2016 Surabaya. Juri Kategori Pendek Thomas Barker Thomas Barker adalah Asisten Professor Film dan Televisi di University of Nottingham Kampus Malaysia. Ia pernah menjadi mahasiswa tamu di UCLA, UI, dan The National University of Singapore serta pernah menjadi mahasiswa di UGM, Yogyakarta. Selain itu, ia juga pernah menulis di beberapa media, antara lain untuk Cinema Poetica, The Jakarta Post, Rumah Film, dan Asian Cinema. Akhir-akhir ini ia turut menjadi co-producer dan menarasikan dokumenter delapan bagian yang dibuat untuk BFM Radio Kuala Lumpur, Malaysia. Vivian Idris Pembuat film otodidak yang misinya adalah menggunakan medium audio-visual sebagai alat untuk edukasi, pelestarian budaya, mengakselerasi pergerakan sosial, dan sebagai salah satu cara berkontribusi kembali ke masyarakat. Vivian juga aktif berpartisipasi di festival-festival lokal di Indonesia sebagai juri Festival Film Indonesia, Anti Corruption Film Festival, XXI Short Film Festival, Festival Film Surabaya, Festival Film Dokumenter, Eagle Academy, UCIFEST 7, Festival Video Edukasi dan membuat workshop pembuatan film dokumenter. Antariksa Antariksa adalah peneliti dan anggota pendiri KUNCI Cultural Studies Center, Yogyakarta. Dia kini menjadi peneliti tamu pada Global Souths du Collège d’études mondiales/Fondation Maison des sciences de l’homme FMSH, Paris, dan Associate Fellow pada the Institute of Southeast Asian Studies ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura. Juri Kategori Pelajar Steve Pilar Setiabudi Pillar lahir di Solo, Indonesia. Ia lulus dari jurusan desain grafis di Yogyakarta tahun 1997. Sejak saat itu, ia aktif berkegiatan dalam beberapa produksi film dokumenter. Saat ini ia tengah bekerja di Artifact Media, di mana ia aktif memproduseri dan menyutradarai film-film dokumenter. Jason Iskandar Jason Iskandar lahir di Jakarta pada tahun 1991. Ia mulai membuat film pada usia 17 tahun di workshop dan kompetisi film dokumenter Think Act Change, di mana filmnya yang berjudul Sarung Petarung memenangkan tiga penghargaan. Film dokumenternya yang berjudul Indonesia Bukan Negara Islam memenangkan penghargaan film terbaik kategori pelajar pada Festival Film Dokumenter 2009. Saat ini ia sedang mempersiapkan film panjang pertamanya. Irfan R. Darajat Lahir di Purbalingga, 22 Oktober 1988. Ia menamatkan pendidikan S1 Jurusan Politik dan Pemerintahan tahun 2012 dan melanjutkan studi S2 Kajian Budaya dan Media di UGM pada tahun 2013 hingga sekarang. Salah satu anggota kelompok peneliti musik dan masyarakat “Laras”. FILM FINALIS All CategoryDokumenter PanjangDokumenter PendekDokumenter Pelajar
FestivalFilm Bulanan hadir dengan mengusung pembaharuan sebuah festival film, inovasi #festivalfilmbulanan adalah penyelenggaraan seleksi film pendek yang diadakan setiap bulan berdasarkan zonasi wilayah guna menjadi kegiatan dengan penyebaran social impact merata sehingga menjadi program yang tepat sasaran, tepat manfaat, dan tepat waktu. Setiap bulannya akan dipilih 2 film pendek terbaik
KUTA, BALI - Head of Forum Film Dokumenter, Festival Film Dokumenter, Henricus Pria, melihat ekosistem film dokumenter di Indonesia saat ini terus tumbuh. Hal ini didorong dengan munculnya berbagai festival film dokumenter di Indonesia, salah satunya Docs By The Sea, yang tengah diselenggarakan di Kuta, Bali, dan merupakan gelaran kedua setelah tahun lalu digelar."Platform-platform seperti Docs By The Sea ini salah satu cara untuk memulai running industri," kata Pria kepada Antaranews di Kuta, Bali, Kamis 9/8.Docs By The Sea 2018 yang berlangsung 2-9 Agustus 2018, diawali dengan program inkubasi selama empat-hari yang meliputi Storytelling Lab, Editing Lab, Pitching Exercise dan Masterclass. Program seperti ini juga dihadirkan oleh Festival Film Dokumenter untuk mendorong para pembuat film dokumenter agar mencapai pasar yang lebih luas."Platform seperti ini nantinya bisa menarik investor, produser-produser dari luar untuk bisa produksi film dokumenter di Indonesia," ujar Pria. Distribusi film dokumenter, menurut Pria, sebagian besar masih melalui festival film. Sementara, televisi sebagai media, biasanya melakukan produksi film dokumenter sendiri. Sementara itu, Pria melihat, produksi film dokumenter sendiri saat ini terus meningkat. Hal itu dilihat dari semakin banyak karya film dokumenter yang masuk dalam Festival Film Dokumenter."Tapi memang kalau dari segi nama secara perkembangan enggak terlalu banyak, terkadang kita masih melihat nama-nama lama, yang sebenarnya cukup lambat perkembangannya," kata Pria optimistis dengan regenerasi pembuat film dokumenter. Pasalnya, saat ini telah banyak institusi pendidikan yang menghadirkan program khusus untuk pembuatan film film dokumenterSaat ini, film dokumenter masih dianggap membosankan. Secara umum, masyarakat masih menjadikan tontonan film dokumenter yang ada di televisi, yang sebagian besar membahas film dokumenter sejarah, sebagai referensi film dokumenter film dokumenter bisa saja mengangkat kisah percintaan seseorang seperti karya sineas Vietnam "Never Been Kissed" yang masuk dalam Docs By The Sea, atau mengangkat isu lingkungan hidup tentang sampah plastik, yang coba disuarakan filmmaker Indonesia dalam "The Poly Bag Journal" di Docs By The Sea."Tantangan film paling dasar itu memang untuk memfamiliarkan . Ada banyak dokumenter alternatif, atau bentuk dokumenter dalam bentuk yang banyak, katakanlah di belahan dunia yang lain sudah banyak mulai menggunakan medium Virtual Reality VR," ujar video on-demand yang sedang populer saat ini, menurut Pria, juga cukup membantu film dokumenter untuk lebih dekat dengan penonton. "Digital platform saya melihatnya positif saja, artinya itu menjadi salah satu perkembangan teknologi yang sebenarnya malah kemungkinan memudahkan teman-teman mengakses berbagai konten," kata depannya, Pria mengatakan bahwa Festival Film Dokumenter juga akan mendorong film dokumenter ke platform digital. "Dalam 2-3 tahun ke depan kita akan memulai semacam FFD untuk platform akses Arsip atau kita coba bikin streaming reguler tapi yang via website," ujar Pria. sumber AntaraBACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini
Febru Pameran Temporer : BPNB Provinsi Kalimantan Barat Pamerkan Benda Cagar Budaya dan Buku Hasil Penelitian October 26, 2021. Sebagai wujud implementasi visi tersebut, maka BPNB Kalbar mengadakan Kegiatan Festival Film Dokumenter Pendek (FFDP) 2017 untuk wilayah se-Kalimantan Barat. Pelaksanaan Festival Film Dokumenter Pendek
Call for Entry The Festival Film Dokumenter Indonesia is accepting documentaries until August 25th, 2019. Here you can find more information about their Call for Entry. About the festival Festival Film Dokumenter FFD is an annual event held by Forum Film Dokumenter, a non-profit organization based in Yogyakarta, focusing on documentary film research and archiving, as well as film appreciation for educational purposes. General Rules – The festival accepts feature-length over 40 minutes documentaries from Indonesian and foreign filmmakers; and Short Documentaries under 40 minutes from Indonesia High Schoolers are also able to submit. – Feature-length documentaries should have been produced between 2017 – 2019 for International filmmakers, and between 2018-2019 for Indonesian filmmakers. – Short Indonesian documentaries should have been produced between 2018-2019. – Students are welcome to submit as long as the director/s and the film crew are students, from junior to high school or equal during the production year of the film. The submitting person should send the student card or any copy of official document legalized by school that proven their status as an active student. – Film of any language including English must include English subtitle. – Important Film submitted to the festival will be archived by Forum Film Dokumenter for non-profit activities and educational purposes. Filmmaker will be informed for any activities involving the film outside this year’s festival timeline. Any screenings will be done with prior permission from the filmmaker. – Submission Fee FREE – Deadline August 25th, 2019 To submit to the festival and read the Rules & Regulations please follow the next link We remind readers that the 2019 Festival Film Dokumenter will take place from December 1st – 7th, 2019 in Yogyakarta, Indonesia. To see other Call for Entries please go to our section “Call for Entries”
Sebanyak31 proyek film dokumenter diseleksi dan mengikuti kegiatan pitching di Docs By The Sea 2018 di Bali. Proyek film akan menghadiri IDFAcademy dan IDFA Forum selama perhelatan International Documentary Film Festival Amsterdam 2018. Film yang terpilih yaitu Under the Stars karya Venice Atienza dari Filipina.
- Perhelatan tahunan Festival Film Dokumenter FFD 2018 resmi berakhir. Festival yang dimulai dari 5 hingga 12 Desember 2018 itu digelar dengan agenda pemutaran film program, pemutaran film peserta kompetisi, diskusi, peluncuran program baru, lokakarya kritik film hingga pameran dan ekshibisi di dua lokasi; Taman Budaya Yogyakarta dan IFI–LIP penganugerahan dan penutupan menjadi rangkaian akhir dari gelaran FFD, yang diadakanpada Rabu 5/12 di Gedung Societet Militair Taman Budaya Yogyakarta. Pengumuman pemenang dari tiga kategori kompetisi dipimpin Direktur Forum Film Dokumenter, Henricus Pria Setiawan. Dalam kesempatan ini, Henricus menyampaikan, film kompetisi merupakan ajang bagi pembuat film untuk membagikan perspektif serta pandangan kritis terhadap isu-isu di sekitar mereka. Seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Tirto, Kamis 13/12/2018, tahun ini FFD menerima 118 film kategori panjang internasional, 100 film kategori pendek, dan 23 film kategori pelajar. Pemenang Kategori Pelajar diraih oleh film berjudul Tarian Kehidupan 2018 karya Naira Capah dan Fauzan Syam Adiya. Alexander Matius, salah satu juri kategori pelajar menyampaikan beberapa catatan bagi finalis. Menurut juri, secara umum pilihan topik kategori pelajar cukup beragam dan menarik, namun masih memerlukan fokus, kelugasan serta perspektif yang lebih dalam. “Pemenang dipilih karena berhasil merespons isu yang dekat dengan pelajar itu sendiri dengan pengemasan yang eksploratif dan menarik. Selain memberikan gambar yang menarik dan tepat guna, filmmaker juga memperhatikan permainan suara dalam film tersebut,” ujar Alexander ini, tidak ada pemenang dalam kategori Dokumenter Pendek. Adrian Jonathan Pasaribu,mewakili juri yang berhalangan hadir, menyampaikan beberapa catatan mengenai para peserta.“Juri menemukan adanya kesamaan cara bercerita, serta tidak cukupnya eksplorasi bahasa sinema di kelima film nominasi. Kelima film memiliki topik yang menarik namun belum bisa meyampaikancerita secara utuh. Pembuat film harus memperhatikan eksplorasi gaya dan cara bercerita dalamproses kreatif nya. Oleh sebab itu kategori film pendek terbaik tidak diberikan pada tahun ini,” jelas Adrian. Namun juri memberikan penghargaan lainnya berupa Special Mention Jury Awards kepada film The Nameless Boy 2017 karya Diego Batara. Pertimbangan juri dalam memberikan penghargaan ini karena The Nameless Boy mencoba untuk mengeksplorasi gaya penceritaan yang berbeda, meski demikian film ini dirasa masih perlu menguatkan penyampaian isu yang film panjang internasional terbaik diraih oleh film asal Filipina In The Claws Of CenturyWanting 2017 karya Jewel Maranan. Mewakili para juri yang berhalangan hadir, Amerta Kusumamenyampaikan catatan juri untuk pemenang film kategori panjang. “Film ini menangkap realitas dari masyarakat yang hidup dalam keberanian walau hidup terasing dari akses mata pencaharian mereka. Sisi lain dari realitas tersebut hadir melalui ambisi sutradara dan sudut pandang obsesif serta editing yang radikal,” ungkap penutup, direktur FFD 2018, Ukky Satya Nugrahani menyampaikan beberapa hal yangperlu digarisbawahi dalam perhelatan FFD tahun ini. Yang pertama, keberadaan festival sebagairuang dialog dan titik temu berbagai wacana dan perspektif tidak akan jadi tanpa antusiasmebanyak pihak. Kedua, akan terus dilakukan evaluasi baik secara penyelenggaraan maupun organisasional dan setiap program yang diadakan tahun ini maupun selanjutnya FFD akan lebihspesifik menarget penonton agar lebih tepat penutupan ini turut memutarkan film pemenang kategori dokumenter pelajar setelah pembacaan pemenang dilakukan. Film yang diputar adalah film dari Provinsi Nanggroe AcehDarussalam, Indonesia berjudul Tarian Kehidupan 2018. Film berdurasi 17 menit ini mengisahkan tentang seorang pelajar SMP yang harus menjadikan tarian sebagai sumber penopang ini adalah rekap dari pemenang kompetisi FFD 2018Kategori Dokumenter Pelajar Tarian Kehidupan 2018 karya Naira Capah dan Fauzam Syam Adiya dari IndonesiaKategori Dokumenter PendekTidak ada pemenangSpecial Mention Jury Award untuk Dokumenter PendekThe Nameless Boy 2017 karya Diego Batara dari IndonesiaKategori Dokumenter PanjangIn The Claws Of Century Wanting 2017 karya Jewel Maranan dari Filipina - Film Penulis Dipna Videlia Putsanra Editor Dipna Videlia Putsanra
Thesecond Papuan independent Film Festival - Festival Films Papua (FFP-II) was launched on August 7, 2018 at the hall of the State Museum of Papua at Expo Waena, Jayapura, Papua province, Indonesia. About 400 hundred people were present during the opening session at the Expo Waena, Jayapura, Papua province, Indonesia, and about 300 people came on each of the following days.
Civic and Social Organizations Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 57 followers About us Founded in 2002, Yogyakarta, Festival Film Dokumenter FFD is the first documentary film festival in Indonesia and Southeast Asia, focusing on the development of documentary film as a medium of expression and ecosystem of knowledge, through exhibition, education, and archiving. Setting forth the notion born in a light conversation between a group of youngsters, it sought to explore the raw potential in Indonesia’s cinema the documentary medium. Certain traits differentiate documentary films from other audiovisual products, a significant place as a media that educates, reflective, transcends time and space. Amidst the strong current of the mass media, documentary films hold its own role as independent, aspirational media. In its annual celebration every December, Festival Film Dokumenter always try to observe certain social issues as its focus, as well as creating a bridge between documentary filmmakers, professional filmmakers, and the general audiences, on the purpose of improving the quality and quantity of Indonesia documentary films. Industries Civic and Social Organizations Company size 11-50 employees Headquarters Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta Type Nonprofit Founded 2002 Specialties film, documentary, cinema, visual, film studies, film archive, and archive Locations Employees at Festival Film Dokumenter Similar pages Browse jobs User Experience Designer jobs 23,764 open jobs Developer jobs 344,797 open jobs Engineer jobs 608,159 open jobs Software Intern jobs 1,932 open jobs Curator jobs 2,551 open jobs Operational Specialist jobs 79,719 open jobs Supervisor jobs 1,307,149 open jobs Asset Manager jobs 31,954 open jobs Writer jobs 32,916 open jobs Assistant jobs 728,748 open jobs Android Developer jobs 41,511 open jobs
FestivalFilm Dokumenter (FFD) resmi dimulai pada 1 Desember 2019 di Societet Militair Taman Budaya Yogyakarta. Sebagai perayaan film dokumenter pertama se-Asia Tenggara, FFD tetap konsisten menjadi salah satu penggerak ekosistem dokumenter di Indonesia dengan menempatkan fungsinya sebagai medium ekshibisi, apresiasi, sekaligus edukasi. Gelaran ini dibuka dengan penampilan musik dari Answer
News The Festival Film Dokumenter FFD along with the Yamagata International Documentary Film Festival YIDFF will organize a Film Criticism Collective Workshop during the 2018 Festival Film Dokumenter December 5th – 12th in Yogyakarta, Indonesia. The deadline is October 22nd so hurry up and send your applications! About the workshop Film Criticism Collective Workshop will provide training in critical framework and incisive writing about documentary cinema, while offering immersion in the lively atmosphere of an international film festival. Participants will also attend film screenings during the festival to later; write about them for regular tasks and discussions with mentors and fellow participants. Moreover, participants will have the opportunity to attend the public lectures organized by FFD, which mainly focus on contemporary issues regarding documentary developments and film festivals in South East Asia and even Asia. How to apply – The submission is open for participants from Japan and South East Asian Countries. – Participants must be able to attend the workshop during FFD 2018 from December 6th –11th. – Flight return and accommodation during workshop will be covered for all selected participants from Southeast Asian Countries and Japan. – Participants must be capable to write and engage in discussions in English – Application must be done via website here – Deadline October 22nd, 2018 MENTORS Chris Fujiwara, a film critic and programmer. Chris has written and edited several books on cinema and has contributed to numerous anthologies and journals. He was formerly Artistic Director of Edinburgh International Film Festival, and he has also developed film programs for Athénée Français Cultural Center Tokyo, Jeonju International Film Festival, Sydney Film Festival, Mar del Plata Film Festival, and other institutions. He has lectured on film aesthetics and film history at Tokyo University, Yale University, Temple University, Emerson College, Rhode Island School of Design, and elsewhere. He has organized or served as a mentor for film criticism workshops at YIDFF, the Berlinale, Melbourne International Film Festival, the International Film Festival of Kerala, and Salamindanaw Asian Film Festival. Adrian Jonathan Pasaribu, born in Pasuruan in 1988, is the co-founder of Cinema Poetica — a collective of film critics, journalists and activists in Indonesia. Established in 2010, Cinema Poetica focuses on knowledge production and distribution as a response to the lack of film literature in Indonesia. The collective publishes their works in and regularly organizes film criticism workshops for students. Adrian has developed film programs for several film festivals and screening spaces in Indonesia. From 2007 to 2010, he worked as the program manager of Kinoki, an alternative screening space in Yogyakarta. Since then Adrian has developed film programs for several screening spaces and film festivals, namely Festival Film Dokumenter, Jogja-NETPAC Asian Film Festival, ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival, and Singapore International Film Festival. Currently, he is researching about the historical unknowns of Indonesian cinema. About Film Criticism Collective Founded in Japan in 2015, the Film Criticism Collective is intended to develop and encourage film criticism, to facilitate interaction among critics of different countries, and to make the writing of East Asian critics more accessible in English. The main activity of FCC is the Film Criticism Workshop, which is held every two years at the Yamagata International Documentary Film Festival, with the support of the Japan Foundation Asia Center. FCC also held a Film Criticism Workshop at Salamindanaw Asian Film Festival in General Santos, Philippines, in 2016.
Festivalfilm tahunan Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2018. 19 November 2018. "Tahun ini, secara resmi JAFF meniadakan program Asiam Doc yang berfokus kepada dokumenter di Asia dan menggabungkan ke dalam program Asian Perspective untuk program non kompetisi. Sementara untuk program kompetisi, masih sama seperti tahun lalu JAFF
Place Yogyakarta, IndonesiaWebsite ffdjogjaTwitter –Instagram ffdjogja About Festival Film Dokumenter FFD is an annual event held by Forum Film Dokumenter, a non-profit organization based in Yogyakarta, focusing on documentary film research and archiving, as well as film appreciation for educational purposes. Articles 07/08/2021 – Festival Film Dokumenter – Call for Entry 2021 Call for Entry 05/12/2020 – Festival Film Dokumenter – Call for Entry 2020 Call for Entry 07/07/2019 – Festival Film Dokumenter – Call for Entry 2019 Call for Entry 10/17/2018 – Festival Film Dokumenter Film Criticism Workshop – Call for Applications Call for Applications 05/07/2018 – Festival Film Dokumenter – Call for Entry 2018 Call for Entry Go back to the Active Festivals
EdSheeran mendokmentasikan perjalanan bermusiknya dalam film pendek berjudul Songwriter. Film ini diputar dalam Festival Film Berlin 2018.
Sixteen film projects announced for IDFA Project Space 2023Read more about the selected projects and renowned tutors >IDFA Bertha Fund announces new IBF Europe – Minority Co-production selectionIDFA Bertha Fund announces new IBF Europe – Minority Co-production selectionThe IDFA Bertha Fund is delighted to support seven new documentary projects through the IDFA Bertha Fund Europe – Minority Co-production funding scheme. Since 2022, the Fund only accepts applications from producers that are involved as minority co-producers on the project. The Fund is awarding an amount of €40,000 to each selected project, in addition to offering year-round opportunities for connecting with IDFA’s professional network.… Read moreIDFA films on PiclIDFA films on PiclDuring the year, many films that premiered at IDFA get released in the Netherlands. The films listed below can now be streamed online via Picl only available within the Netherlands. … More infoLatest newsIDFA Bertha Fund announces new IBF Europe – Minority Co-production selectionSelection of film projects and tutors for IDFA Project Space 2023 announcedDocs for Sale catalogue opens with eight exciting filmsNew films to watch at homeZinderIn Flow of WordsMr. LandsbergisHerdShowgirls of PakistanClassics to watch at homeAnniversary of the RevolutionEpisode 3 - Enjoy PovertyThe Other Man - de Klerk and the End of Apartheid
TWbUt. kjt9ulhux7.pages.dev/594kjt9ulhux7.pages.dev/273kjt9ulhux7.pages.dev/162kjt9ulhux7.pages.dev/279kjt9ulhux7.pages.dev/499kjt9ulhux7.pages.dev/843kjt9ulhux7.pages.dev/549kjt9ulhux7.pages.dev/369kjt9ulhux7.pages.dev/254kjt9ulhux7.pages.dev/271kjt9ulhux7.pages.dev/223kjt9ulhux7.pages.dev/259kjt9ulhux7.pages.dev/461kjt9ulhux7.pages.dev/680kjt9ulhux7.pages.dev/847
festival film dokumenter 2018